Jumat, 22 Mei 2009

SOLUSI TOTAL KRISIS?

Pendapat Fritjof Capra dalam buku Titik Balik Peradaban mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini sudah sampai pada keadaan krisis multidimensional yaitu krisis intelektual, moral dan spiritual, maka sealur dengan pemikiran itu kiranya bangsa Indonesia juga sudah sampai pada keadaan krisis yang sama. Krisis yang bermula dari ekonomi akhirnya merebak pada berbagai dimensi menuntut perhatian dan pemikiran kita semua. Namun, kenyataannya sampai sekarang penyelesaian ke arah berakhirnya krisis hampir tak pernah kunjung tiba. Kalaupun ada usaha untuk menyelesaikannya, itu hanya berupa upaya coba-coba dari fungsi intelektual yang ingin memetakan kapasitasnya menyelesaikan “kehidupan buruk” bangsa ini.

Analisis yang diungkapkan oleh banyak pakar menyebutkan bahwa esensi krisis multidimensional sebenarnya bermula dari krisis ilmu pengetahuan yang sudah lama memendam penyakit kronis, penyakit itu berangkat dari anggapan bahwa aqal manusia dapat mencipta ilmu pengetahuan tanpa memerlukan panduan naql. Namun, kenyataannya dengan memisahkan ilmu pengetahuan dari agama sampai saat ini fungsi ilmu pengetahuan tidak lagi dapat menjawab seluruh problema kehidupan. Maka dari itu, akhir-akhir ini dalam suasana merespons kekurangan itu muncul kegandrungan “merubah paradigma” ilmu pengetahuan seperti yang digagas oleh Thomas Kuhn 30 tahun lalu.

Kalaupun telah dilakukan perubahan paradigma pada ilmu pengetahuan, dan perubahannya masih berputar disekitar aqal semata tanpa panduan naql itu artinya kita membiarkan kebermanfaatan ilmu pengetahuan terus menjauh dari kehidupan. Membicarakan ilmu pengetahuan hasil dari suatu proses dinamis antara aqal dan naql sebenarnya kita sudah melangkah mencari solusi krisis multidimensional. Namun, yang justru jadi masalah adalah pembahasan ilmu pengetahuan harus dititikberatkan pada masalah apa dan dimulai darimana? Menurut Hasan Langgulung (Guru Besar Psikologi Pendidikan Islam Universiti Islam Antarabangsa Malaysia) pembahasan harus dimulai dari “manusia” sebagai kekuatan subjektif dalam melihat realitas objektif duniawi.

Sejauh ini, kata kunci “pembangunan” masih tetap dijadikan solusi primadona keluar dari jeratan krisis. Hanya saja ada hal yang perlu kita insyafi dari kekhilafan memahami “pembangunan” sebagai pembangunan ekonomi. Perubahan paradigma dalam pembangunan diantaranya terletak pada kembalinya makna “pembangunan” sebagai “pembangunan ekonomi” pada makna “pembangunan” yang seharusnya. Maka dari itu, kalau kita bermaksud menjadikan manusia sebagai pelaku (subjek) dari seluruh aktivitas kehidupan, seharusnya prioritas pembangunan itu ditumpukan pada pembangunan “manusia” dari suatu harapan terciptanya IPOLEKSOSBUDHANKAM.
Pembangunan Islami

Anggapan Islam dalam “pembangunan” ialah “pembangunan manusia”, sehingga kepentingan agama dalam “wacana dunia” sebenarnya hanya untuk manusia. Ini diperkuat dengan alasan bahwa manusia sebenarnya punya potensi untuk mengembangkan urusan dunianya. Dengan logika itu, apabila agama diperuntukan pada manusia dan potensi mengembangkan duniawi manusia lebih menguasainya, maka sebenarnya agama harus dapat mewarnai seluruh aktivitas duniawi manusia.

Membicarakan nafs menyadarkan kita pada hakikat manusia, Allah SWT. telah menciptakan manusia dari kesatuan wujud jasmani dan ruhani, hanya saja dominasi pembangunan yang telah dilakukan tercurah pada terdukungnya kebutuhan jasmani dengan mengetepikan kepentingan pembangunan ruhani. Kepincangan pembangunan terlalu mementingkan aspek jasmani telah mengantarkan manusia pada keadaan krisis multidimensional.

Pembicaraan pembangunan manusia menurut perspektif Islam ialah bagaimana sistem kehidupan berupaya meningkatkan suasana ruhani manusia dari tingkat terbawah (nafs-ammarah) ke tingkat teratas (nafs-mutmainnah). Maka dari itu, sistem kehidupan tidak terkecuali sistem ekonomi harus membawa kemajuan wacana kebendaan bukan saja mampu meningkatkan taraf ekonomi manusia tetapi dapat membangun manusia dari sudut kejiwaannya.

Pada dasarnya, tauhid merupakan falsafah sistem kehidupan dalam Islam. Perwujudan tingkah laku “berahlak” adalah sisi lain Islam yang sudah terimplementasi. Dengan itu, ketertautan antara tauhid dan ahlak merupakan bentuk holistik dari dinamika ruhani dan jasmani. Hanya saja, penelusuran implementasi tauhid ---pada sisi ruhani--- dengan ekspresi ahlak ---pada sisi jasmani--- memerlukan pendekatan yang semua aspek agama terpusat mendukung pembangunan nafs manusia.

Tujuan sistem ekonomi Islam ialah menitikberatkan pada suasana yang dapat menjadikan manusia kreatif dan dinamik. Melalui keadaan kreatif dan dinamik diharapkan manusia mampu menjalankan tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah SWT. di bumi ini. Dengan demikian, tujuan ekonomi untuk memenuhi keperluan dasar manusia, pemerataan pendapatan, mengatasi pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter merupakan tujuan sampingan yang ingin dicapai ekonomi.

Dalam realitasnya, ekonomi juga membicarakan kebijakan-kebijakan dalam konteks hak milik, proses pembuatan kebijakan, dan hal-hal lain yang mendorong keluarnya kebijakan dapat memastikan keadilan ekonomi melalui pencapaian tujuan ekonomi ke arah pembangunan manusia. Tujuan ini akan tercapai jika kebijakan-kebijakan dalam sistem ekonomi didasarkan kepada nilai-nilai Islam.

Permasalahan kemudian adalah bagaimana nilai-nilai Islam diserap ilmu pengetahuan sehingga warna ilmu pengetahuan dapat memberikan jalan keluar krisis. Dengan pengimanan pada Islam, dan nilai-nilai Islam mewarnai ilmu pengetahuan maka dengan sikap itu kita telah berusaha mengimani ilmu pengetahuan sebagai upaya ibadah kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar